Jumat, 27 April 2018

TENTARA BUTA WARNA


Tinggal di asrama militer setidaknya membuat kami anak tentara mengerti, apa saja yang ayah kami lakukan, latihan, dan segala kegiatannya. Saya masih ingat saat 2005-2006 Ayah saya berangkat satgas (satuan tugas) ke Ambon untuk pengamanan karena waktu itu ada kerusuhan. Saya dan teman2 saya tentunya sangat sedih, walaupun kami masih kecil saat itu, kami sangat paham bahwa ayah kami akan pergi jauh, lama, dan kami tidak tau kapan ayah kami pulang. Kami ingat, saat asrama menjadi sepi, tidak ada lagi ayah yang selalu menjaga kami.
Dulu tidak seperti sekarang, tidak ada yang namanya video call. Kalau ayah tugas, sudahlah kami tidak akan pernah melihatnya sampai nanti dia pulang.
Saat kabar ayah kami akan pulang pagi hari, kami sangat semangat, menunggu di depan batalyon menyambut ayah. Kami mendengar bahwa ayah akan sampai jam 10 pagi, kami sudah menunggu di pagar batalyon dari jam 8.
Apakah tepat jam 10 ayah pulang? TIDAK! Sudah lewat dari jam 10 pun reo (truk tentara) ga sampe2.
"Ayah kita mana ya?"
"Kok ga nyampe2 ya"
Tapi kaki ini sama sekali tidak lelah. Kami tetap menunggu di depan batalyon. Kami sama sekali tidak meninggalkan pagar, kami tetap menunggu, sampai akhirnya reo datang pukul 13.00
"Ayah kita udh sampe"
Semua anak-anak berlarian. Mencari dimana ayahnya. Apakah turun dari reo Ayah langsung memeluk kami? Tidak.
Ayah harus upacara dulu. Disitu kami belajar bersabar lagi.
"Bun ayah kenapa baris lagi"
"Upacara dulu ya"
Sambil menunggu, saya mencari dimana tempat ayah berdiri, walaupun badan, baju sama, muka pula hampir sama. Saya tetap tau dimana posisi ayah. Setelah upacara selesai, saya langsung berlari menuju ayah. Saya langsung memeluk ayah melepas rindu selama satu tahun ini.
Ya, itulah singkat cerita dari satgas. Apa sudah selesai tugas ayah? Tidak.
Mungkin saat liburan, anak-anak lain dengan bebas bisa berlibur dengan ayahnya. Lalu dengan kami?
Mungkin anak tentara sudah biasa mendengar:
"Ayah jaga dulu ya sayang"
"Ayah gabisa, soalnya ada PAM"
"Cuti ayah bukan tanggal segitu"
Saat liburan panjang, misalnya lebaran, cuti tentara di bagi-bagi ada yang sebelum dan sesudah lebaran. Kami tidak pernah tau pasti ayah kami mendapat cuti kapan.
Saat orang-orang sudah menyiapkan liburannya dari jauh hari, kami tidak bisa seperti itu karena kami tidak tau kapan ayah cuti.
Saya yakin, pasti ada waktu dimana anak tentara lebih sering liburan hanya bersama ibu dan saudaranya karena ayah harus jaga.
Saat tanggal merah, tentu kami libur sekolah kan. Rasanya ingin berlibur diwaktu itu.
"Ayah besok tanggal merah, jalan2 yu"
"Ayah tugas nak"
Kadang terlintas dipikiran saya, apa cuman saya yang melihat itu merah, kenapa ayah ga lihat. Apa saya yang salah lihat?
Semua anak tentara pun pasti pernah merasakan, liburan tahun baru tanpa ayah, karena ayah harus pam tahun baru.
Sedih, pastilah.
"Kenapa ya ayah selalu jaga pas liburan, kenapa ga dirumah aja"
Disitu terletak peranan bunda, bunda menjelaskan bahwasannya itu memang tugas tentara, melindungi warga negara, melindungi orang-orang yang hendak liburan, agar liburannya aman dan membuat mereka bahagia.
Setidaknya, walaupun kami tidak bisa liburan sering sama ayah tetap ada waktu dimana kami bangga melihat ayah melaksanakan tugas.
Setidaknya, kami tetap bisa mendengar suara sepatu lars dan gemerincing sangkur yang membanggakan.
Ayah, walaupun liburan kami kadang tidak bersama ayah, kami tetap bangga. Kami mengerti ayah ini milik negara, Ayah bertugas dan mengabdi untuk negara. Ayah bertugas untuk melindungi warga negara. Walaupun ayah tidak secara langsung mengatakan sayang dan cinta pada kami. Kami dapat mendengar suara lars yang mendekati kasur kami. Kami tetap merasakan sentuhan halus dari tangan mu saat kami tidur. Kami juga tetap mendengar suara parau yang mengatakan selamat tidur anakku.
Teman-temanku, walaupun tanggal merah tidak dapat ayah lihat, setidaknya saat tanggal merah kita bisa melihat ayah berangkat tugas. Biasanya kan kita masih tidur😂

Adisha Hanifa
Bandung, 17 Februari 2018